Belajar-belajar, Cerita-cerita, Mikir-mikir

Perubahan Pendidikan Putri Raja Seiring Jaman

Pada jaman Eyang Sinuwun ke delapan (HB VIII), putri Dalem masih belajar di dalem Kraton sini. Perubahan dimulai pada jaman Sultan ke-sembilan, dimana saudara-saudara perempuan saya lulusan universitas. Baru jaman kalian ini (kelima putri HB 10) yang lulusan luar negeri. Baru kalian juga yang merasakan hidup bersama ayah dan ibu dalam satu rumah. (HB 10, 2015)

Kurang lebih itulah yang diucapkan Ngarso Dalem pada saat makan siang berdua di ruang makan Kraton Kilen beberapa bulan lalu. Aku jadi flashback saat-saat nego alot dengan Bapak Ibu karena enggak mau disuruh sekolah ke luar negeri hahaha. Maklum, saat abege belom mikir terlalu jauh tentang masa depan, taunya cuma udah dalam comfort zone lagi asik sama temen di Jogja.

Naik kelas 2 SMA, Bapak dan Ibu maksa anaknya ini untuk pindah sekolah dari SMA 3 Padmanaba Jogja ke Singapura. Pertimbangan mereka adalah aku harus ambil S1 di luar negri. Sementara kalau lulus SMA dari Jogja akan harus melewati 1 tahun penyesuaian, sedangkan kalau lulus SMA internasional bisa langsung jadi aku enggak kehilangan waktu. Tapi ya namanya abegeh yaaaaah, nolak mentah-mentah karena taunya cuma maeeeeennnn (jadi malu kalo inget).

Ketika sudah kelas 3 SMA di Singapura dan waktunya memilih universitas tujuan, banyak ngobrol dengan yang teman sekelas. Banyak teman dari Indonesia memilih ke Inggris dan negara Eropa lainnya, sementara aku sendiri kepengen banget bisa sekolah di Jepang. Lalu sepulang sekolah diminta guru untuk membicarakan pilihan sekolah pada orang tua.

Besoknya dialog yang ada di kelas jadi begini:

  • Teman: Aku enggak dibolehin ke Inggris, kata orangtua kejauhan. Disuruh ke Australia aja biar bisa sering pulang ke Jakarta. Kamu jadi ke Jepang? Enak tuh masih relatif deket kalo pulang…
  • Aku: Enggak boleh ke Jepang, ortu bilang ‘Jepang? Kurang jauh! Ke Amerika aja yang jauh sekalian biar kamu enggak pulang-pulang terus!’
Sedikit disclaimer di awal, analisa ini berdasarkan pengalamansaya pribadi sebagai anaknya Sultan dengan point-of-view apa yang ada dan terjadi di sekitar saya sendiri.

1. Menempa Karakter

Aku baru merasakan apa yang menjadi tujuan Bapak Ibu mengirim anaknya keluar negri, ketika aku mulai bekerja. Bapak dan Ibu sangat mengerti bahwa jika anaknya tumbuh di Jogja, tidak akan pernah merasakan perjuangan seperti umumnya karena selalu diperlakukan sebagai ‘Anak Sultan’ atau ‘Keluarga Kraton’. Di rumah selalu ada pembantu, di luar rumah juga diperlakukan spesial. Sementara diluar negri semua-semua dikerjakan sendiri, kemana-mana pake angkutan umum, berteman dan bersaing dengan berbagai macam orang dari berbagai negara.

Sebagai ilustrasi, tahun ketiga S1 di Inggris diharuskan magang sebagai syarat kelulusan. Aku milih cari posisi magang di Jogja karena sudah lama sekolah di luar dan pengen pulang. Sempat ketemu dengan Pak Boss sebuah organisasi dan ngobrol-ngobrol, beliau ngumpulin jajaran manager dan pertemuan pun ditutup dengan “Kalau ada pertanyaan lagi silahkan nimbali (memanggil, bhs Jawa alus) kami”

Sesampai di rumah, aku bilang ke Ibu “Kok nimbali boss? Kan aku yang ngelamar kerjaan, cuma anak magang pula?” Ibu pun cuma jawab pendek “Itulah kalau kamu di Jogja, selamanya diperlakukan spesial. Ibu lebih cenderung kamu magang di Jakarta aja, biar ngerasain namanya kerja beneran” dan akhirnya aku pun magang di Microsoft Indonesia, Jakarta selama satu tahun.

Setelah lulus S1, aku pun kerja di Jakarta. Kerja di software house itu identik dengan lembur, dan selama 3 tahun kerja di Jakarta aku dipercaya menangani 8 projects. Dan somehow selalu kebagian ‘proyek Prambanan’ alias project-project ajaib yang kejar tayang. Pulang jam 7 pagi balik ke kantor jam 9, nginep di lantai kantor klien cuma beralaskan matras yoga berhari-hari, marathon lembur termasuk wiken selama berbulan-bulan pun menjadi hal rutin.

Masuk setahun kerja, ngeliatin banyak anak buah mengundurkan diri karena orangtuanya melarang lembur. Kadang aku mau curhat sama Bapak Ibu, tapi malu. Bapak tiap hari bangun pagi, pulang dari kantor pun masih nerima tamu di Kraton sampai jam 2 pagi. Ibu pun sama sibuknya di DPD, acara pagi malem, plus traveling beberapa kota pula. Pernah satu ketika, baru sampe rumah jam 4 pagi, jam 7 udah kudu siap-siap dan sarapan sambil nyawa setengah nyambung. Cuma diliatin atas bawah dan diketawain sama Bapak Ibu “Namanya juga ikut orang”

2. Ngerti Karakter Orang

Setelah lulus S1, Bapak memberi nasehat “Sebelum ngomong S2, kamu kerja dulu. Cari pengalaman kerja di bawah orang dan belajar cara manage orang” dan itulah awal mula pekerjaan full-time pertama ku jadi project manager di Jakarta. Jatuh bangun urusan dengan para atasan, belajar banyak dari klien-klien yang jauh lebih senior dan menimba pengalaman gimana cara memotivasi bawahan.

Memilih sekolah di luar negri pun aku selalu memilih yang tidak terlalu banyak orang Indonesia nya karena aku berusaha meminimalisir godaan untuk nongkrong-nya dengan sesama orang Indonesia aja. Inilah kesempatanku untuk ngerti dan bertukar pikiran dengan berbagai budaya.

Pengalaman sekolah dan kerja itulah yang nggak ada duanya untuk aku karena aku belajar banyak mengenai motivasi dibalik perilaku orang dan gimana cara kerja orang dari berbagai negara.

Selama bekerja di Jakarta, aku cukup sering ditanya “Ngapain kerja ikut orang, Mbak? Nggak bikin perusahaan aja?”. Sebenernya gampang sih kalo aku mau idup leha-leha, banyak di Jogja yang nawarin proyek tanpa aku perlu kerja, yang penting cuma namaku ada di daftar pemegang saham aja. Tapi berarti aku cuma tau rasanya jadi boss, dan kemungkinan besar cuma dimanfaatkan orang yang mau make nama untuk mulusin jalannya proyek

3. Nilai Kekeluargaan dan Prinsip Hidup

Karena para Sultan terdahulu memiliki beberapa istri, biasanya masing-masing istri mempunyai rumah sendiri bersama para anaknya, tinggal terpisah dari sang Sultan. Karena Bapak adalah Sultan pertama yang tidak poligami, maka baru kali ini sang Raja benar-benar terlibat dalam pendidikan keluarga sehari-hari karena tinggal dalam satu rumah.

Meski Bapak Ibu super sibuk, tapi kita semua berusaha sebisa mungkin menghabiskan waktu bersama. Dan tiap kali, Bapak dan Ibu selalu menanamkan prinsip bahwa kita itu hidup untuk melayani. Aku pernah sekali nanya ke Bapak, boleh enggak kerja di luar negri dan dijawab dengan “Kalau cuma cari pengalaman beberapa tahun boleh. Tapi semua anaknya Bapak punya tanggung jawab untuk kontribusi di Jogja”. Udah deh abis perkara hahaha

Sejak kecil kami berlima diajarkan untuk saling membantu bukan bersaing, karena tidak mungkin Kraton dijalankan 1-2 orang saja. Saat-saat makan bersama, Bapak sering cerita sejarah para leluhur, pengalaman hidup, visi beliau untuk Kraton kedepan, etika dan sikap ketika kami turun ke masyarakat.

2

Bisa dilihat bahwa terjadi pergeseran pada pilihan para Sultan mendidik putri-putrinya. Asumsiku sih karena beliau-beliau mengerti bahwa peran perempuan juga bergeser seiring waktu.

Pada jaman HB VIII dan sebelumnya, putri Dalem (mungkin) adalah aset strategis untuk mempererat dan memperluas wilayah. Mereka dinikahkan dengan keluarga-keluarga ningrat sebagai bentuk komitmen antar keluarga.

Pada jaman HB IX, pernikahan putri Dalem tidak lagi berdasarkan strategi. Kebebasan diberikan pada putra putri Dalem untuk memilih pasangannya. Pendidikan putri Dalem juga tidak dibatasi karena HB IX mengerti putri-putrinya akan berperan di tengah masyarakat. Namun peran perempuan didalam struktur organisasi Kraton sendiri sangat terbatas. Abdi dalem perempuan hanya punya satu divisi, dimana pekerjaannya melingkupi memasak, membuat sesaji, mengatur kebersihan Kraton dan sejenisnya. Sementara divisi lain di dalam Kraton bermacam-macam, dari administrasi, mengurus aset Kraton, pariwisata dan sebagainya. Penghageng (boss divisi) semua dipegang putra laki-laki.

Pada jaman HB 10, beliau mengerti bahwa putri Dalem akan menghadapi tantangan yang berbeda. Sudah bukan jamannya memperluas wilayah, bukan jamannya perang, tapi bagaimana membawa Kraton dan Jogja menghadapi globalisasi. Dan beliau pun mempersiapkan putri-putrinya untuk bisa berkontribusi di dalam Kraton. Sebagai contoh, baru kali ini titel Penghageng dipegang perempuan dan tersebar di berbagai divisi.

Perlu diingat, bahwa Kraton sendiri adalah institusi monarki, bukan demokrasi. Seorang Sultan memiliki kekuasaan absolut di dalam Kraton. Disinilah pentingnya mendidik keluarga raja untuk mengerti hak dan kewajibannya.

Kami berlima diajari dari kecil untuk menerima bahwa kami terlahir bukan di keluarga biasa. Tapi bukan berarti kami diperbolehkan hidup leha-leha. Kami digembleng cara menggunakan pengaruh secara benar. Kami diajari nama “keluarga Kraton” bukanlah aset untuk nge-gol-in makelaran proyek, nipu orang kanan kiri atau jual aset Kraton karena nggak bisa kerja, tapi merupakan tanggung jawab memberi contoh perilaku yang baik.

Kami berlima memang perempuan semua, tapi jangan sekali-kali memandang kami sebelah mata. Jangan bilang “Perempuan itu punya tugas mulia mengandung dan mendidik anak” atau “Perlu dilihat kapabilitasnya” sebagai alusnya bilang perempuan itu urusannya di rumah aja. Udah nggak jamannya lagi atuh.

Kami berlima dibekali pendidikan, kekuatan mental, integritas, nilai moral dan kekeluargaan.  Kami sanggup mengandung, mendidik keluarga dan bekerja.

Karena perempuan itu kuat.

78 Comments

  1. Bravo! Perhaps there is hope yet for Yogyakarta, my birth place.
    I am impress by the “education” you received from your parents.
    In reading your article, I feel you are thougt to be a “rounded” person. Meaning, you have become wise in persuing the the way of world of different culture. Something all leaders should know.
    The success of leadership is shown by how succesful the people they lead. A “servant leader” you must be, God bless.

  2. Christida says

    ternyata kraton pun juga ikut berkembang. terimakasih ceritanya 🙂

  3. RM yudho says

    Saya juga masih keturunan trah HB VII. Tapi saya tidak seberuntung panjenengan. Semoga saudara panjenengan ini bisa seperti panjenengan.

    • GKR Hayu says

      Beruntung itu relatif 😁 karena semua ada sisi ruginya juga

  4. Pingback: Perubahan Pendidikan Putri Raja Seiring Jaman | elephannie

  5. Sharing yang menginspirasi dan membuka pikiran. Semoga keluarga Kraton bisa senantiasa memberikan manfaat bagi rakyat Indonesia 🙂

  6. Amazing thoughts, sharing, and definetely motivating!
    Bangga sama perempuan Indonesia!
    Sukses selalu..

  7. ny Titik Ananto says

    Angkat dua jempol bg ngarsa dalem & kanjeng ratu pd misi visi nya. U/ jeng Hayu proficiat atas keberhasilannya melawan diri sendiri.
    Maju terus wanita Yogyakarta, wanita Indonesia !

  8. Suka sekali tulisannya, Gusti. Seneng ketemu tulisan ini setelah lama cuma jadi followers di IG 😀

  9. Nyuwun sewu gusti, Ngarso Dalem justru masih menerapkan konsep sultan terdahulu, bahwasanya melihat putri dalem sbg aset dan strategi, hanya saja Ngarso Dalem bener memahami perkembangan jaman, mengerti emansipasi wanita harus dijunjung,
    Ngarso Dalem memandang putri2nya adalah ‘aset’ paling berharga yg baliau punya, tp g mau hanya berkilau diluarnya tp harus kuat didalamnya, tdk mau tumbuh menjadi pribadi yg rapuh. Benar2 menerapkan ‘strategi’ dalam mencetak masa depan putri2nya. Termasuk menempa putri2nya utk mandiri.
    Salut dalem kaliyan Ngarso Dalem..
    Nyuwun sewu gusti klo dalem salah “its just a point of view that i see it, all about understanding of how the kings ‘Lead’ not only in his kingdom but in his family also”
    Pardon me your highness

  10. Vika elvira akmal says

    Pemikiran yg inspiratif…biar gak di spesialin terus kk magang diluar kota jogja…sippp kerenn

    • GKR Hayu says

      Harus itu, drpd diladeni orang terus nanti gak tau kalo cuma dimanfaatin 😁

  11. Mustika says

    Kerrn, inspiring banget pendidikan karakternya 😉 thanks for sharing

      • Djaka Mursida says

        Gemblengan mental yang mendasar, bukan untuk sesaat, tetapi sebagai bekal yang tak pernah hilang sepanjang hayat. Insya Allah berkah. Gusti Ayu

      • GKR Hayu says

        Betul sekali, harta bisa habis tapi ilmu dibagi bisa jadi makin banyak 😁

  12. Sebelum tidur buka2 henpon, nemu tulisan ini….jadi penasaran untuk baca cerita2 yang lain nya…😁😁😁😁… sangat menginpirasi mbak…dan bikin saya jadi kangen jogja lagi (pengen balik ke jogja) #jogjamemangistimewa.

    • GKR Hayu says

      Hehehe maturnuwun 😁

      Kalo gitu sekalian saya promosi socmed resmi Kraton deh 😝 @kratonjogja_ di IG dan Twitter, Kraton Jogja di FB biar makin kangen sama Jogja

  13. tinus says

    Luar biasa Gusti,sangat menginspirasi dalam menyiapkan masa depan anak,mengajak kami utk melihat dari sudut pandang yg berbeda,memandang “orang kraton” bukan selalu harus melihat dari kacamata “kekuasaan” tapi juga dari sisi “manusia” seutuhnya

  14. Mathilda Maria says

    Wah tulisan ini bener” mengubah cara pandang saya secara total terhadap keraton. Selama ini saya pikir keraton dan orang orangnya itu sangat kuno, statis, kaku dsb karena begitu image yang saya terima pada saat pertamakali mulai berkuliah di Jogja. Memang Keraton Jogjakarta sangat vital perannya dalam melestarikan budaya lokal, tetapi alangkah lebih bagusnya kalau orang orangnya memiliki pola pikir terbuka dan maju, sehingga seimbang antara masa lalu dan masa depan. Good luck princess 🙂

    • GKR Hayu says

      Terima kasih atas inputnya 😁 memang yg susah itu mengubah mindset utk tidak terjebak dalam comfort zone

      Karena mempertahankan “dari dulu memang begini” itu lebih gampang, lebih nyaman tapi juga mulai tenggelam kayak ikan yg cuma ngikut air ngalir…

  15. Sharing yg bagus bgt.. 😊👍👍👍
    Yups..pendidikan yg sesuai zaman memang sangat diperlukan..mengingat skrg bnyk anak muda yg ga “tahan banting” & ga paham bgmna “langit dijunjung & bumi dipijak” 😢

    sukses selalu untuk klrg Dalem 😊

  16. Jaga keraton dan nama baik keratonhati hati cari suami .karena pasti banyak yg mau dekat dengan sampean karena satu dan dua hal.kalian penentunya .jangan sampai ada bahasa anak anak sri sultan dimanfaatkan sama ….

  17. Impian says

    Seratanipun sae, Gusti.
    Ngefans sama semua lima putri sultan ini.

  18. Michelle anugrah says

    Perempuan itu kuat.

    Perempuan itu harus kuat.

    Banyak yg lupa tentang hal ini, terutama para perempuannya sendiri

    • GKR Hayu says

      Betul sekali 😁
      Yang susah itu karena budaya tradisional biasanya membawahkan perempuan. Jadi kadang menyeimbangkan mana kesetaraan mana tradisi itu yang tarik ulur

  19. d.m merta s says

    perlu di expose terus, semua kegiatan di lingkungan keraton, semua orang ngerti.

  20. laura says

    Subhanallah…ga bisa berkata2…mudah2an jogja semakin maju namun tetap menjunjung budaya dengan ilmu yang diterapkan GKR Hayu dan saudari2

  21. bagus banget ka tulisannya, salut juga sama ayah kakak, yang ngedidik kakak dan saudara saudaranya dengan baik. have a nice day kak 🙂

  22. Salam kenal Mbak. Duh pas baca ini saya jadi malu karena masih sedikit terbersit orang-orang yang punya posisi di masyarakat bakal mendapat segala kemudahan di mana aja dan menggunakannya. Salut sama pola pendidikan keluarganya. Senang ya punya saudara perempuan 4 orang. Bisa bikin waktu khusus buat girls talk ga,sih? Hihi

    • GKR Hayu says

      Ya terus terang saya juga dapat kemudahan karena nama orangtua, tapi bagaimana cara kita menggunakannya yang membedakan kualitas manusia nya 😁

  23. Joicesita says

    Sangat bangga bisa membaca tulisan jeng abra (nama akrab dari gusti raden ajeng nur abra juwita sebelum menikah, nyuwun ndalem sewu kalau salah). Saya mengenalnya walaupun hanya sebentar sebagai kakak kelas sd nya yang kebetulan berkecimpung bersama di dunia drumband kala itu. Sebagai mayoret jeng abra tdk pernah mendapat sesuatu hal tsb secara istimewa, kanjeng ibu dan bapaknya tetap selalu memperlakukan beliau seperti halnya murid lain biasa. Saya yg kebetulan mendampingi beliau sebagai partner mayoret kecil di sebuah sd di jalan senopati, sangat merasakan bahwa suatu ketika beliau ini pasti akan menjadi orang yg berbeda… Dan terbukti, alhmdlh gusti hayu memang memiliki jiwa yg luar biasa…. Sukses terus jeng abra…. Di tunggu kembali tulisannya. Sungkem dalem kagem bapak ibu.

  24. Maria Widhiastuti says

    So inspiring! Thanks for sharing, GKR Hayu. Benar, perempuan itu kuat!

  25. Hanah says

    Wah saya baru tau kisah putri putri kraton, salut deh pokoknya… kalo boleh jangan berhenti sampai disini ya ceritanya, agar cerita cerita putri kraton bisa menginspirasi kami semua….
    Kali aja ada sutradara yang berkenan memfilmkan kisah kisah kraton agar kami yang bukan orang Yogyakarta asli pun bisa lebih mengenal salah satu kebudayaan Yogyakarta.
    Terima kasih sharingnya GKR Hayu

  26. Wak oky says

    Luar biasa Sultan. Tidak heran LAKIPnya adalah ranking1 di Indonesia. Tanpa pilkada, semua rakyat jogja dan perangkat pemerintahan 1 visi, disiplin menjalankan titah dan sangat yakin bahwa Sultan mengarahkan ke jalan yang benar, tercermin dari pendidikan yang ditanamkan kpd keluarganya. Jayalah selalu jogja. Ijinkan kami tuk selalu pulang. Jogja lebih dari sekedar istimewa

  27. Rinda says

    Sugeng ndalu GKR Hayu. Menginspirasi sekali, sebagai pembaca muda dan perempuan Jawa saya semakin yakin bahwa pemahaman para perempuan terutama perempuan Jawa tentang pendidikan dan karir di masa depan harus sudah semakin maju. Saya penasaran, kala riyin para sesepuh sering mengatakan bahwa wanita Jawa itu ya tempatnya “dapur, kasur dan sumur” apakah dengan adanya peluang pendidikan membuat falsafah tersebut sampun mboten relevan malih Gusti ?
    Ditunggu cerita menginspirasi selanjutnya nggih GKR Hayu, matur suwun.

    • GKR Hayu says

      Justru wanita Jawa pada awalnya bergerak dalam bidang militer dan politik. Setelah Belanda dan Islam masuk, baru berubah menjadi “konco wingking”
      Jadi sudah waktunya dikembalikan seperti awal 😀

  28. dewi wulandari says

    Harus bisa jadi srikandi yang kuat ^_^

  29. fars998 says

    be like, “putri sultan juga lho ngerasain susah-kerasnya pendidikan!” bikin saya jadi lebih semangat. inspiratif sekali kak!! ditunggu kontribusinya untuk Jogja!!

  30. Baru kali ini saya baca blog resmi milik GKR Hayu, ternyata sangat inspiratif dan menyajikan pandangan yang luas terhadap kesetaraan kaum perempuan terutama di jaman yang serba modern ini. Salut dengan pemikiran anda, two thumbs up! 🙂

    *langsung di tag di bookmark biar gampang buka situs website blog mbak GKR Hayu*

  31. Hugo says

    Hello,
    Saya Hugo. Senang dengan gaya cerita yang ringan dan ada nilai filosofinya 🙂
    Memang enak diistimewakan..tapi lebih enak dianggap secara utuh dengan segala kelemahan dan keunggulan. Keep on doing the right things 😊
    Salam!

  32. Sangat inspiratif dan sangat setuju dengan pola pendidikan yg diterapkan Ngarso Dalem. Gusti sangat beruntung. Mohon ijin berbagi dan menduplikasi sistem pendidikan di keluarga.

  33. Purwadi says

    Terasa Jogja semakin istimewa dengan torehan ide, gagasan, dan segala hal yang GKR Hayu tuangkan dalam tulisan. Menginspirasi dan visioner. Bravooo… #jadipingindiskusibudaya

  34. Ndak sengaja “tersesat” ke blog ini, dan terharu baca bagaimana sultan dan keluarga kraton menghadapi perubahan, salut!
    *cari-cari tulisan lain lagi dari putri kraton

  35. nurinanis says

    Saya telat bgt baca blog nya Gusti. Saya banyak belajar dan terinspirasi dari sini. Ini yang harus orang lain tau, tidak sekedar asal ngomong dan nyinyirin keluarga Sultan. Saya agak geram kalo ada yang nyinyirin keluarga Sultan. Terima kasih tulisannya Gusti. Terus berkarya ya.

  36. gak sengaja nyasar ke sini,
    sangat memberi inspirasi
    semoga mbakyu & keluarga selalu sehat dan berbahagia.
    salam dari Kudus.

  37. Pada jam 02 pagi saya menemukan blog ini dan hati tertarik untuk membaca sampai habis.
    Mohon maaf pada Gusti, bila kata dan rangkaian kalimat saya tidak berkenan di hati.
    Putri-putri Sri Sultan adalah Pendawi yang menjadi Srikandi-Srikandi di era modern.
    Suka sekali membaca kisah para putri Sri Sultan, khususnya yang sedang saya baca tentang GKR. Hayu yang mampu mandiri dan berjuang sendiri dengan segenap ilmu dan kemampuan, menolak keistimewaan yang diberikan oleh pak Boss.
    Membaca bagian akhir tulisan Gusti adalah sesuai dengan apa yang saya pikirkan waktu muda dulu. Perempuan bukan hanya bisa mengandung dan ngurusin rumah tangga aja tapi perempuan juga bisa berkerja, ngurus keluarga dan rumah tangga.
    Saya asal Semarang, walaupun sejak tahun 92 saya hidup di Jakarta tetapi selalu suka membaca tentang Jawa Tengah dan Yogyakarta, khususnya keluarga kesultanan Yogyakarta.
    Mohon maaf bila ada salah-salah kata.
    Terimakasih atas tulisan Gusti yang luar biasa bagus dan dapat menginspirasi para perempuan.

  38. Heronikawati Koconegoro says

    Sangat menginspirasi sekali ya, artikelnya GKR Hayu 🙂

Comments are closed.